GARIS MERUSAK DIRI
Dalam ilmu grafologi, ada jenis garis di tanda tangan yang disebut sebagai “garis merusak diri.” Ada tiga kadar ringan-beratnya “garis merusak diri” Ini, mulai dari “self demeaning,” lalu “self defeating,” dan yang paling berat adalah “self destructing.”
Para psikolog yang belajar grafologi kebanyakan bertanya seperti apakah perilaku atau kecenderungan “merusak diri” ini?
Tentu ada yang mudah ditengarai, seperti kebiasaan buruk yang merusak tubuh dan kesejahteraan diri. Merokok, berjudi, melacur, makan asal enak tanpa memperhatikan kebutuhan gizi dan kesehatan, dan tindakan-tindakan impulsif lainnya yang tidak mempertimbangkan aspek lain. Itu adalah tindakan dan dan kebiasaan yang merusak diri.
Namun banyak pula yang agak sulit terlihat oleh orang lain; apalagi jika tindakan atau sikap itu sudah menjadi kebiasaan keluarga, budaya atau bahkan sudah menjadi tirani mayoritas. Sebagai contoh, sebagian perempuan menganggap dirinya tidak mampu atau bakal kesulitan mencoba hal baru, karena masyarakat yang patriarkis mengajarinya sejak kecil bahwa ia tidak mampu. Sejak kecil, ia sebentar-sebentar berkata "aku nggak bisa" atau "itu hal yang sulit." Itu adalah gejala "self defeating."
Namun banyak pula yang agak sulit terlihat oleh orang lain; apalagi jika tindakan atau sikap itu sudah menjadi kebiasaan keluarga, budaya atau bahkan sudah menjadi tirani mayoritas. Sebagai contoh, sebagian perempuan menganggap dirinya tidak mampu atau bakal kesulitan mencoba hal baru, karena masyarakat yang patriarkis mengajarinya sejak kecil bahwa ia tidak mampu. Sejak kecil, ia sebentar-sebentar berkata "aku nggak bisa" atau "itu hal yang sulit." Itu adalah gejala "self defeating."
Ya, bukan hanya pribadi saja yang bisa punya kecenderungan merendahkan diri sendiri. Bahkan ada budaya yang cenderung "demeaning." Banyak anak diajarkan untuk "menolak" pujian dari orang lain dengan alasan agar tidak sombong. Jika ia dipuji seseorang, misalnya "Kamu pintar hlo" atau "Kamu cantik sekali," maka anak ini -- bahkan orang dewasa -- akan menjawab "Ah tidak. Saya biasa saja." Ini bukan soal bersikap rendah hati, tetapi bagaimana menghargai dan menerima penghargaan dari orang lain. Seseorang yang rasa percaya dirinya sehat akan menjawab, "Terima kasih telah memberikan apresiasi." Orang yang sombong adalah mereka yang membesar-besarkan salah satu kualitas atau kuantitas dirinya sendiri ketika tidak ada orang yang mengakuinya. Ya, menolak penghargaan dan pengakuan dari orang lain itu bisa menjadi gejala mengecilkan arti diri sendiri alias self demeaning. Sering merasa kurang berguna, merasa tidak mampu menggambarkan individu ini mengecilkan makna dirinya sendiri.
Sebagian kecil tindakan dan kecenderungan itu disadari, tetapi sebagian besar malah tidak disadari. Banyak sekali pikiran tak disadari yang sesungguhnya merusak diri, merusak hubungan, maupun merusak keluarga. “Suami saya pasti nggak mau diajak,” adalah salah satu kalimat yang sering saya dengar setiap kali saya meminta seorang ibu untuk mengajak suaminya ikut psikoterapi. Bahkan jika dari 100 kejadian, suami Anda 99 kali menolak, berarti pernah ada 1 kejadian ia menerima. Jadi, mengapa tidak mencoba dengan cara yang lebih tepat agar ia menerima? Jangan-jangan, 99 kali ia menolak bukan karena ia tak mau, tetapi 99 kali pula Anda mengajaknya dengan cara yang sama persis. Masih ada 14 jenis sesat pikir lain yang tanpa Anda sadari sudah merusak diri dan hubungan. (Baca notes saya perihal #LogicalFallacy ini).

CANGKANG
Seringkali hidup itu seperti ini: seseorang tahu bahwa ia punya masalah, ia tahu apa sumber persoalannya, dan bagaimana solusinya.
Tetapi....mereka itu bagaikan sedang naik kereta api, menengok ke jendela karena sedang ada kereta lain lewat dan terkejut "Hlo, ternyata saya menaiki kereta yang salah. Di sebelah itu adalah kereta yang seharusnya kunaiki." ....dan ajaibnya, mereka tidak panik dan bergegas pindah, mereka malah terus duduk di kursinya, makin menenggelamkan diri dalam sofa empuk itu karena kini ditambah beban rasa menyesal. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan segala situasi dan keadaan di dalam kereta yang salah itu.
Memang rasanya tidak masuk akal dipukul terus menerus oleh suami atau diselingkuhi istri dan terus bertahan di dalam hubungan tersebut. Bukan berarti ia tak tahu atau tak punya akal bahwa dipukul itu salah. Ia juga paham bahwa berada di dalam hubungan penuh kekerasan dan pengkhianatan seperti itu adalah salah. Tetapi “entah kenapa,” ia seperti tak berdaya untuk keluar, untuk membebaskan dirinya dari sana.
Memang tidak bahagia, tidak ada suka cita, bertahan di dalam pekerjaan yang bossnya jahat, gajinya pas-pasan, bahkan perjuangan menuju dan pulang kantor saja sangat berat. Hati dan jiwa rasanya ingin segera bebas merdeka, tetapi menurutnya, bertahan di dalam pekerjaan itu seakan-akan adalah satu-satunya pilihan logis dan rasional.
Hidup seatap dengan mertua itu membuat hati menjadi sangat tidak nyaman. Tidak ada kemerdekaan, tak ada kemandirian. Akan tetapi, “entah mengapa” ketaknyamanan menurut akal sadar itu diterima sampai belasan tahun.
Ya, mengapa situasi buruk yang jika dipikir secara sadar memang menimbulkan rasa tidak aman, tidak damai, tidak sejahtera, itu berjalan bahkan hingga bertahun-tahun? Jangan-jangan, sesungguhnya menimbulkan rasa nyaman dan aman? Betul. Menimbulkan rasa aman di bawah sadar.
Jadi? Ada pergolakan, ada pertentangan, antara kesadaran dan ketaksadaran. Secara sadar, mereka tahu bahwa situasi tersebut buruk. Namun, secara tidak sadar, mereka tidak tahu cara untuk keluar dari keadaan yang meninabobokan itu, situasi yang penuh topeng itu. Bukan hanya tidak tahu, mereka juga tidak mampu untuk keluar. Mengapa?
Karena komponen-komponen dirinya belum selaras. Ia belum memiliki diri yang utuh, kepercayaan dirinya kurang sehat. Dengan berada di antara orang-orang yang juga belum matang yang sama-sama berada dalam suasana yang menurut akal sehat sesungguhnya tidak sehat itu terasa baik-baik saja.
Ya, sesekali sih mereka akan memikir bahwa situasi yang dijalaninya ini tidak enak, tetapi beberapa menit kemudian, ia sudah kembali mengikuti rutinitas tak sehat yang sudah berjalan belasan bahkan puluhan tahun itu. Tentu perlu teknik khusus untuk mengetahui apa dan bagaimana penyebab ketakselaran diri. Dan perlu intervensi-intervensi khusus pula untuk membuat diri menjadi selaras agar terus berkembang.
Keadaan seperti itulah yang tergambar dari tanda tangan yang mengandung “cangkang” atau “penjara.” Masih ada lebih dari 5000 simbol lain dalam grafologi — ilmu dan metoda mengidentifikasi dan menganalisis kepribadian seseorang berdasar tanda tangan dan tulisan tangannya. Tetapi, grafologi holistik lebih dari sekadar membaca simbol belaka. Analisnya alias grafolog yang belajar grafologi holistik, bukan yang simbolik, akan mengintegrasikan satu simbol itu dengan berbagai simbol lainnya, baik dari tanda tangan maupun tulisan tangan, serta tata letaknya untuk memahami psikodinamika kepribadian kliennya atau analisannya.
Tetapi....mereka itu bagaikan sedang naik kereta api, menengok ke jendela karena sedang ada kereta lain lewat dan terkejut "Hlo, ternyata saya menaiki kereta yang salah. Di sebelah itu adalah kereta yang seharusnya kunaiki." ....dan ajaibnya, mereka tidak panik dan bergegas pindah, mereka malah terus duduk di kursinya, makin menenggelamkan diri dalam sofa empuk itu karena kini ditambah beban rasa menyesal. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan segala situasi dan keadaan di dalam kereta yang salah itu.
Memang rasanya tidak masuk akal dipukul terus menerus oleh suami atau diselingkuhi istri dan terus bertahan di dalam hubungan tersebut. Bukan berarti ia tak tahu atau tak punya akal bahwa dipukul itu salah. Ia juga paham bahwa berada di dalam hubungan penuh kekerasan dan pengkhianatan seperti itu adalah salah. Tetapi “entah kenapa,” ia seperti tak berdaya untuk keluar, untuk membebaskan dirinya dari sana.
Memang tidak bahagia, tidak ada suka cita, bertahan di dalam pekerjaan yang bossnya jahat, gajinya pas-pasan, bahkan perjuangan menuju dan pulang kantor saja sangat berat. Hati dan jiwa rasanya ingin segera bebas merdeka, tetapi menurutnya, bertahan di dalam pekerjaan itu seakan-akan adalah satu-satunya pilihan logis dan rasional.
Hidup seatap dengan mertua itu membuat hati menjadi sangat tidak nyaman. Tidak ada kemerdekaan, tak ada kemandirian. Akan tetapi, “entah mengapa” ketaknyamanan menurut akal sadar itu diterima sampai belasan tahun.
Ya, mengapa situasi buruk yang jika dipikir secara sadar memang menimbulkan rasa tidak aman, tidak damai, tidak sejahtera, itu berjalan bahkan hingga bertahun-tahun? Jangan-jangan, sesungguhnya menimbulkan rasa nyaman dan aman? Betul. Menimbulkan rasa aman di bawah sadar.
Jadi? Ada pergolakan, ada pertentangan, antara kesadaran dan ketaksadaran. Secara sadar, mereka tahu bahwa situasi tersebut buruk. Namun, secara tidak sadar, mereka tidak tahu cara untuk keluar dari keadaan yang meninabobokan itu, situasi yang penuh topeng itu. Bukan hanya tidak tahu, mereka juga tidak mampu untuk keluar. Mengapa?
Karena komponen-komponen dirinya belum selaras. Ia belum memiliki diri yang utuh, kepercayaan dirinya kurang sehat. Dengan berada di antara orang-orang yang juga belum matang yang sama-sama berada dalam suasana yang menurut akal sehat sesungguhnya tidak sehat itu terasa baik-baik saja.
Ya, sesekali sih mereka akan memikir bahwa situasi yang dijalaninya ini tidak enak, tetapi beberapa menit kemudian, ia sudah kembali mengikuti rutinitas tak sehat yang sudah berjalan belasan bahkan puluhan tahun itu. Tentu perlu teknik khusus untuk mengetahui apa dan bagaimana penyebab ketakselaran diri. Dan perlu intervensi-intervensi khusus pula untuk membuat diri menjadi selaras agar terus berkembang.
Keadaan seperti itulah yang tergambar dari tanda tangan yang mengandung “cangkang” atau “penjara.” Masih ada lebih dari 5000 simbol lain dalam grafologi — ilmu dan metoda mengidentifikasi dan menganalisis kepribadian seseorang berdasar tanda tangan dan tulisan tangannya. Tetapi, grafologi holistik lebih dari sekadar membaca simbol belaka. Analisnya alias grafolog yang belajar grafologi holistik, bukan yang simbolik, akan mengintegrasikan satu simbol itu dengan berbagai simbol lainnya, baik dari tanda tangan maupun tulisan tangan, serta tata letaknya untuk memahami psikodinamika kepribadian kliennya atau analisannya.

Untuk memahami lebih lanjut kecenderungan ini dan ciri-ciri kepribadian lainnya, Anda dapat mengikuti pelatihan “Certified Graphology and Handwriting Analyst” (CGA). Pelatihan grafologi ini dalam waktu dekat akan diadakan di dua kota, Bandung dan Jakarta.
Bandung, 21 – 23 Oktober 2016
Jakarta, 5, 6,12 November 2016
Jakarta, 5, 6,12 November 2016
Untuk Bandung, hubungi @Ratna Dewanti di 0812-2313-987
dan Gregorius Tjai Ven Lie di 0899-9472-240.
dan Gregorius Tjai Ven Lie di 0899-9472-240.
Untuk Jakarta, hubungi Eveline di Meliora Learning-Academy: 0818-0828-0219.
Sumber: https://www.facebook.com/dono.baswardono1?pnref=story
Tidak ada komentar:
Posting Komentar